Kamis, 22 Oktober 2009
Epos La Galigo, Warisan budaya nusantara yg hampir terlupakan
Pertama kali kami mendengar epos La Galigo karena ada seseorang yang menyarankan pada kami untuk membahas epos tersebut pada artikel warisan budaya nusantara berikutnya. Jujur saja, pada awalnya kami sendiri pun tidak tahu menahu tentang epos tersebut. Setelah mencari tahu di internet, kami pun menemukan kenyataan bahwa memang epos tersebut tidak terlalu dikenal di negaranya sendiri, Indonesia. Epos tersebut justru lebih terkenal di luar negeri! Ironis, ya!
Namun, kami rasa belum terlambat. Daripada tidak sama sekali, maka kami pun memutuskan untuk menuliskan sedikit mengenai sejarah epos La Galigo melalui sumber-sumber yang kami dapatkan. Dengar-dengar epos La Galigo pun sedang diperjuangkan untuk mendapatkan pengakuan sebagai Memory of The World (MOW) atau ingatan kolektif manusia berupa warisan dokumenter yang secara sah dapat menjadi bukti sejarah manusia. Semoga saja terlaksana. Dan semoga saja melalui tulisan kami kali ini bisa membuat para pembaca semua mengetahui (walaupun sedikit) mengenai epos La Galigo.
* * *
Sejarah La Galigo
Epos La Galigo atau biasa juga dikenal dengan I La Galigo merupakan karya sastra (epos) yang terpanjang di dunia. La Galigo adalah hasil karya sastra dari Kerajaan Luwu, Sulawesi Selatan, Indonesia. Isinya sebagian berbentuk puisi yang ditulis dalam bahasa Bugis kuno. Epos ini menceritakan tentang penciptaan alam semesta oleh raja dunia atas atau raja langit bernama La Patiganna. Disebutkan pula bahwa epos ini bercerita tentang Sawerigading, seorang perantau juga pahlawan yang gagah berani.
La Galigo sebenarnya tidak tepat disebut sebagai teks sejarah karena isinya penuh dengan mitos-mitos. Namun, epos La Galigo tetap dapat memberikan gambaran kepada kita mengenai kebudayaan Bugis sebelum abad ke-14.
Struktur Cerita
La Galigo mempunyai struktur cerita yang besar dan panjang. Ia memuat beberapa sub cerita di dalamnya. Sub cerita yang disebut episode pun dapat dilihat dari dua dimensi. Di satu sisi, episode tersebut merupakan bagian cerita dari keseluruhan La Galigo namun di sisi yang lain episode tersebut juga merupakan cerita tersendiri dalam bingkai La Galigo.
Hal ini disebabkan antara lain karena panjangnya cerita yang melingkupi setiap tokoh, sehingga kadang-kadang tidak tertampung hanya dalam satu episode. Terkadang satu cerita terdapat pada dua atau tiga episode, hal tersebut tergantung banyaknya peristiwa yang diceritakan.
Kandungan La Galigo
Epos bermula dengan penciptaan dunia. Ketika dunia masih kosong (merujuk kepada Sulawesi Selatan), raja langit, La Patiganna, mengadakan musyawarah keluarga dari beberapa kerajaan termasuk Senrijawa dan Peretiwi dari alam gaib. Musyawarah tersebut menghasilkan keputusan berupa pelantikan anak lelaki raja langit yang tertua, La Toge’ langi’ menjadi Raja Alekawa (bumi) dan memakai gelar Batara Guru. Sebelum turun ke bumi, ia harus melalui masa ujian selama 40 hari 40 malam. Tidak lama sesudah ujian tersebut, Batara Guru kemudian turun ke bumi, di Ussu’, daerah Luwu’ yang saat ini menjadi Luwu Timur dan terletak di Teluk Bone.
Di kemudian hari, La Toge’ langi’ menikahi sepupunya We Nyili’timo’, anak dari Guru ri Selleng, raja alam gaib. Batara Guru kemudian digantikan oleh anaknya, La Tiuleng yang memakai gelar Batara Lattu’. La Tiuleng sendiri lalu mendapatkan dua orang anak kembar bernama Lawe atau Sawerigading dan seorang anak perempuan bernama We Tenriyabeng. Kedua anak kembar tersebut tidak dibesarkan bersama-sama sehingga pada suatu saat Sawerigading ingin menikahi We Tenriyabeng akibat ketidaktahuannya bahwa mereka masih bersaudara. Ketika ia mengetahui hal tersebut, ia lantas meninggalkan Luwu’ dan bersumpah tidak akan kembali lagi.
Sawerigading lantas melanjutkan perjalanannya ke Kerajaan Tiongkok. Selama perjalanan ia mengalahkan beberapa pahlawan termasuk pemerintah Jawa Wolio yakni Setia Bonga. Sesampainya di Tiongkok, ia lantas menikahi putri Tiongkok bernama We Cudai.
Sawerigading sendiri digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang perkasa. Ia pernah mengunjungi berbagai macam tempat, seperti Taranate (Ternate di Maluku), Gima (diduga Bima atau Sumbawa), Jawa Rilau’ dan Jawa Ritengnga (diduga Jawa Timur dan Jawa Tengah), Sunra Rilau’ dan Sunra Riaja (diduga Sunda Timur dan Sunda Barat) serta Melaka. Ia pun dikisahkan pernah mengunjungi surga dan alam gaib.
Sawerigading sendiri dikisahkan merupakan ayah dari La Galigo yang kemudian bergelar Datunna Kelling. La Galigo juga seperti ayahnya, adalah seorang kapten kapal, perantau, dan pahlawan yang hebat. Ia mempunyai empat orang istri yang berasal dari berbagai negara. Namun, seperti ayahnya pula, La Galigo dikisahkan tidak pernah menjadi raja. Anak lelaki La Galigo yang bernama La Tenritatta’ lah yang dikisahkan terakhir dinobatkan menjadi raja di Luwu’.
* * *
Isi epos ini merujuk pada masa ketika orang Bugis bermukim di pesisir pantai Sulawesi. Hal ini dibuktikan dengan pemukiman yang berpusat di muara sungai, tempat kapal-kapal besar boleh berlabuh. Pusat pemerintahan pun yang terdiri dari istana dan rumah-rumah bangsawan terletak berdekatan dengan muara sungai. Berdekatan dengan istana terdapat Rumah Dewan (Baruga) yang berfungsi sebagai tempat bermusyawarah dan tempat menyambut pedagang-pedagang asing. Kehadiran pedagang asing disambut baik di kerajaan Bugis. Para pedagang tersebut baru boleh berniaga setelah membayar cukai kepada pemerintah. Perniagaan ketika itu menggunakan sistem barter. Ketika itu, laut menjadi media yang sangat penting untuk saling berhubungan antar kerajaan. Golongan muda bangsawan di Bugis ketika itu pun dianjurkan untuk merantau sejauh mungkin sebelum mereka diberi tanggung jawab yang besar.
Pementasan La Galigo di Eropa
La Galigo telah dipentaskan di beberapa negara Eropa. Pada tahun 2004, La Galigo dipentaskan di Belanda, Perancis, dan Amerika. Pementasan tersebut mendapatkan respon yang sangat positif dari berbagai kalangan masyarakat. Bahkan, koran The New York Times yang biasanya sangat kritis memberikan komentar yang positif. Pementasan La Galigo tersebut terlaksana di bawah bimbingan Robert Wilson, yang sayangnya seorang seniman teater dari Amerika Serikat dan bukan dari negeri sendiri. Sehingga pada akhirnya cerita diadaptasi dan merupakan percampuran dari berbagai kebudayaan dengan tetap menggunakan ciri kebudayaan Makassar.
Naskah La Galigo
Informasi mengenai salinan naskah-naskah La Galigo sebagian besar terdapat di perpustakaan Leiden, Belanda. Naskah lainnya juga terdapat di Jakarta, yakni di perpustakaan Nasional dan juga di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan di Gedung Mulo yang memiliki 15 buah naskah Bugis.
* * *
Oya, sekedar menambahkan, I La Galigo juga mempunyai page tersendiri di Facebook. Bagi kawan-kawan yang tertarik dengan La Galigo, dapat bergabung ke dalam page tersebut
Terimakasih!
Sumber : www.indonesiaberprestasi.web.id
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar